Kamis, 15 Januari 2009

cerpenku

SURYA PANEN

Sebelum tidur, lelaki berkaca mata itu memeriksa semua pintu dan jendela. Akhir-akhir ini sering terjadi pencurian, perampokan kadang disertai pemerkosaan, penganiayaan bahkan pembunuhan. Apalagi setelah kenaikan harga BBM, perekonomian semakin anjlok. Kriminalitas meningkat. Pengangguran korban PHK dan putus sekolah bertambah. Sebuah lingkaran setan yang tak bisa diurai mana ujung dan pangkalnya.

Surya Panen, lelaki itu mengusap keningnya yang berkeringat dingin. Belakangan ini ia sering dilanda ketakutan yang luar biasa ketika menjelang tidur. Ketakutan yang tak bisa dicari alasannya.

Berita di surat kabar, televisi, dan radio tentang kejahatan yang meningkat, menjadi obrolan yang menegangkan dengan teman sekerja di pangkalan ojek. Ketegangan itu terbawa pulang ke rumah. Mengikutinya seperti hantu. Akibatnya hubungan dengan istrinya pun jadi memburuk. Sering ia merasa was-was ketika meninggalkan istri dan rumahnya untuk bekerja. Ia takut rumahnya kerampokan atau istrinya diperkosa orang.

Ia mencurigai siapapun yang tak dikenalnya. Ia sangat waspada bahkan suara cicak pun bisa membuatnya mengacungkan golok yang selalu disanding di sebelah bantal. Ia memandang istri gemuknya yang pulas memeluk guling dengan getaran nafas yang terhambat lemak. Menimbulkan bunyi khas yang memenuhi kamar tidur. Ketika sang istri masih mendengkur. Panen memeriksa simpanan uang dalam peti kayu yang tersembunyi di balik lemari baju. Ia lega semuanya masih utuh lalu ia kembali tidur, diiringi dengkur istrinya yang menjadi musik pengantar tidur hingga esok kembali mengulang hari.

Rasa takut terbawa mimpi. Ia merasa didatangi lelaki bertampang seram, kumis tebal dan muka bopeng. Lelaki seram itu menampar kedua belah pipinya. Sakit. Pandangan menjadi biru ungu kelap-kelip kunang-kunang. Semua barang bawaan diminta paksa sambil memukuli sekujur tubuhnya.

“Tolooong…!” teriaknya.

Lalu ia terbangun dengan celingukan. Istrinya menertawakan dirinya. Ternyata tak ada apa-apa kecuali mentari yang mulai naik. Dan mengantarkan kehangatan melalui jendela kamar. Istrinya masih saja tertawa, saat itu wajah Panen yang sedang mengumpulkan kesadaran terlihat sangat lucu di mata wanita berdaster ukuran xl itu. Panen menceritakan mimpi buruknya. Sang istri hanya mengangkat alis, malas menanggapi.

“Oh…” begitu saja komentar perempuan itu. Mulutnya membetuk lingkaran dengan bibirnya yang tebal. Ia pun beranjak dari kamar meninggalkan Panen yang masih berbaring di kasur.

Nama Surya Panen diberikan Bapak dengan harapan dan doa kelak dapat menuai keberhasilan. Masa depan cerah, secerah hamparan kuning padi yang siap panen. Lelaki tua berambut perak, dengan tubuh bungkuk itu, masih saja setia melayani pelanggan di bengkel sepedanya yang tak jauh dari pangkalan ojek tempat Panen biasa ngetem.

Panen diam-diam sering mengamati wajah renta yang dipenuhi kerut lisut, dari tempatnya mangkal. Ia sedih, benih harapan yang ditanam dalam dirinya tak pernah bisa menjadi padi kesuksesan berbulir padat. Ia ingin bisa membahagiakan lelaki yang selalu tampak tekun berjongkok memperbaiki ban sepeda anak tetangga. Tapi nasib tak berpihak padanya

Sejak ia lahir, Bapak memperbaiki sepeda. Sekarang setelah ia dewasa, Bapak masih saja memperbaiki sepeda. Bengkel sepeda yang makin lama makin lusuh. Seperti seonggok kain tua. Yang hanya pantas untuk lap kompor. Bengkel yang makin mengkeriut tertelan kios, toko, warung makan disekitarnya. Bengkel Bapak tampak reot dis amping semua bangunan baru itu. Bengkel yang semakin tua seiring kerentaan bapak. Dan Panen tak bisa berbuat apa-apa selain hanya kelu memandang.

Setan was-was kembali datang, dengan gemuruh teriakan demonstran. Di tanduknya terikat sepotong kain merah bertuliskan ‘Turunkan BBM’. Menyetop seluruh angkutan umum dan mengajak semua orang untuk berjalan kaki membawa spanduk dan poster protes sambil meneriakan yel-yel heroik.

Panen menggigil mendengar derap demonstrasi itu. Kerumunan itu memekatkan matanya. di antara sorak sorai ’setuju’ dari massa yang entah menyepakati apa. Panen mendengar makian. Yang makin lama makin keras menggelombang, ‘Hancurkan, bakar, tembak!’ entah dari mana. Tiba-tiba semprotan air menampar wajahnya, mengabutkan pandangan. Panen terjebak dalam amukan masa yang membadai.

Batu-batu berterbangan. Bambu runcing menusuk-nusuk langit. Bom molotov melontarkan api. Kawat duri melilit-lilit aspal jalanan. Peluru karet berdesingan diantara asap yang mengepul dari bom asap dan ban yang dibakar. Langit menjadi merah hitam dan berbau hangus.

Panen merunduk. Tiarap di tanah. Ia takut jadi korban konyol dari kerusuhan ini. Batinnya sangat trauma dengan keberingasan yang biasanya hanya dilihat di televisi. Jantung Panen berhenti sesaat.

“Tidak! Ampun aku tak tahu apa-apa, bukan salahku…!Aaa…!”

Panen terpental dari bangku panjang di pos ojek. Jatuh ke tanah tak jauh dari motornya.

“Ha ha ha!” serentak tawa teman-temannya terdengar.

“Sadar! Siang-siang ngelindur!”

Panen merasa seperti jatuh ke negeri asing yang dipenuhi mahluk aneh yang menyeringai. Kesadaran pecah berantakan. Terpatah-patah dikumpulkan. Kalau saja tak ada Retno , janda kembang yang minta diantar ke pasar, mungkin ia masih terjebak dalam mimpi buruk siang bolongnya yang kering.

Panen membiarkan tubuh janda itu melendoti punggungnya, tangan mulus berjari lentik mendekap pinggang. Sedikit hiburan setelah tertekan mimpi menakutkan. Panen bersiul-siul membonceng sang janda, melewati seorang wanita gila berbaju rombeng, berambut kusut, yang berdiri di pinggir jalan. Wanita itu berteriak, “Kamu jahat! Kamu jahaat!” Wanita bernasib sial itu stress ditinggal kabur kekasih yang habis di PHK, karena pabrik tempat kerjanya tutup. Gara-gara kenaikan BBM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar